Susu Olahan Menyebabkan Asma, Peradangan, dan Osteoporosis
Media
massa dan lembaga kesehatan konvensional selalu menekankan bahwa minum
susu adalah baik untuk kesehatan. Tapi tahukah Anda bahwa susu olahan
justru menyebabkan asma, alergi, peradangan, dan osteoporosis? Dr.
Hiromi Shinya, salah seorang dokter holistik modern yang terkenal
dikalangan para gastroenterologist dan ahli bedah seluruh dunia,
membeberkan “rahasia” ini kepada kita.
Dr. Shinya, menjabat sebagai Profesor
Klinis Pembedahan di Albert Einstein College of Medicine, New York City
dan sebagai Kepala Unit Endoskopi Bedah di Beth Israel Medical Centre.
Sebagai seorang dokter dengan prestasi yang gemilang di komunitas medis,
ia melihat banyak kesalahan-kesalahan dalam standarisasi ilmu
pengobatan medis konvensional dan kemudian setelah ia mengadakan banyak
pengamatan dan beribu uji klinis pada pasien-pasiennya, ia pun beralih
ke metode holistik karena telah mendapati kebenaran dibalik pengobatan
secara holistik.
Dr. Shinya mengungkapkan, kesalahan yang
sering terlihat di rumah sakit yaitu pasien seringkali diberikan susu
dalam diet mereka selama rawat inap. Nutrisi utama yang ditemukan dalam
susu adalah protein, lemak, glukosa, kalsium, dan vitamin. Susu memang
sangat populer karena mengandung banyak kalsium dan dianggap dapat
mencegah osteoporosis.
Namun sesungguhnya, tidak ada makanan
lain yang lebih sulit dicerna daripada susu. Kasein, yang membentuk
kira-kira 80% dari protein yang terdapat dalam susu, langsung menggumpal
menjadi satu begitu memasuki lambung sehingga mencernanya menjadi
sangat sulit. Terlebih lagi, dalam susu yang dijual di toko, komponen
tersebut telah dihomogenisasi. Homogenisasi berarti meratakan kadar
lemak dalam susu dengan cara mengaduknya. Homogenisasi adalah hal yang
buruk karena saat susu diaduk, udara ikut tercampur di dalamnya dan
mengubah komponen lemak dalam susu itu menjadi zat lemak
teroksidasi—yaitu lemak dalam keadaan oksidasi lanjut. Dengan kata lain,
susu homogen menghasilkan radikal bebas dan memberikan pengaruh yang
sangat buruk bagi tubuh.
Susu yang mengandung lemak teroksidasi
kemudian dipasteurisasi dalam suhu tinggi di atas 100°C. Enzim sangatlah
sensitif terhadap panas, dan mulai hancur pada suhu 93,3°C. Dengan kata
lain, susu yang dijual di toko bukan saja tidak mengandung enzim-enzim
yang berharga, lemaknya juga telah teroksidasi dan kualitas proteinnya
berubah akibat suhu yang tinggi. Dapat dikatakan, susu adalah jenis
makanan yang terburuk.
Hidup tidak dapat ditopang dengan makanan yang tidak mengandung enzim.
Dr. Hiromi Shinya pertama kali mengetahui
betapa buruknya efek susu bagi tubuh lebih dari 35 tahun lalu, ketika
anak-anaknya sendiri menderita dermatitis atopic (radang kulit parah )
pada usia enam atau tujuh bulan.
Sang ibu sudah menuruti segala instruksi
yang diberikan oleh dokter anak, tetapi betapapun banyaknya perawatan
yang mereka terima, radang kulit anak-anak sama sekali tidak membaik.
Lalu, pada usia sekitar tiga atau empat tahun, anak laki-laki dr. Shinya
mulai mengalami diare parah. Dan pada akhirnya, dia bahkan mulai
mengeluarkan darah bersama kotorannya. Setelah memeriksanya dengan
endoskop, ia menemukan bahwa si balita menunjukkan tanda-tanda awal
kolitis ulserativa (radang parah dengan tukak di dalam usus besar).
Oleh karena tahu bahwa kolitis ulserativa
berhubungan erat dengan makanan seseorang, Dr. Shinya pun memfokuskan
pada jenis makanan yang biasa dimakan oleli anak-anaknya. Ternyata,
tepat pada saat anak-anaknya mulai menderita dermatitis atopik, istrinya
telah berhenti menyusui dan mulai memberi mereka susu di bawah arahan
dokter anak. Mereka pun menyingkirkan semua susu dan produk susu dari
makanan anak-anak sejak saat itu. Tentu saja setelah itu, kotoran
berdarah dan diare, bahkan dermatitis atopik, semuanya menghilang.
Setelah mengalami hal ini, saat
menanyakan kepada pasien-pasien Dr. Shinya tentang sejarah kebiasaan
makan mereka, ia mulai mengumpulkan daftar lengkap berapa banyak susu
dan produk susu yang mereka konsumsi. Menurut data klinisnya, terdapat
kemungkinan besar terbentuknya kecenderungan timbulnya alergi dari
mengonsumsi susu dan produk-produk susu. Hal ini sesuai dengan
penelitian mengenai alergi baru-baru ini yang melaporkan bahwa jika
wanita hamil minum susu, anak-anak mereka cenderung lebih mudah
terjangkit dermatitis atopik .
Selama 30 tahun terakhir di Jepang,
jumlah pasien penderita dermatitis atopik dan alergi pollen meningkat
secara drastis. Jumlahnya pada saat ini mungkin hampir sebanyak satu
dari setiap lima orang. Begitu banyak teori yang berusaha menjelaskan
mengapa terjadi peningkatan yang begitu cepat dalam jumlah orang yang
menderita alergi, tetapi Dr. Shinya percaya bahwa penyebab paling utama
adalah diperkenalkannya susu dalam menu makan siang di sekolah pada awal
era 1960-an.
Susu, yang mengandung banyak zat lemak
teroksidasi, mengacaukan lingkungan dalam usus, meningkatkan jumlah
bakteri jahat dan menghancurkan keseimbangan flora bakteri dalam usus
kita. Sebagai akibatnya, racun-racun seperti radikal bebas, hidrogen
sulfida, dan amonia diproduksi dalam usus. Penelitian mengenai proses
apa saja yang dialami racun-racun ini dan penyakit-penyakit jenis apa
saja yang dapat timbul masih berlangsung. Namun, beberapa hasil
penelitian melaporkan babwa susu tidak banya menyebabkan berbagai
alergi, tetapi juga dihubungkan dengan diabetes pada anak-anak (lihat http://www.sciencenews.org/sn_arc99/6_26_99/fob2.htm).
Minum Susu Terlalu Banyak Menyebabkan Osteoporosis
Dr. Shinya menyatakan, satu
kesalahpahaman umum yang terbesar mengenai susu adalah bahwa susu
membantu mencegah osteoporosis. Oleb karena jumlah kalsium dalam tubuh
kita berkurang seiring dengan usia, kita diberi tahu untuk minum susu
yang banyak untuk mencegab osteoporosis. Namun, ini adalah sebuah
kesalahan besar. Minum susu terlalu banyak sebenarnya menyebabkan
osteoporosis.
Pada umumnya, dipercaya bahwa kalsium
dalam susu lebih mudah diserap daripada kalsium dalam makanan-makanan
lain seperti ikan kecil, tetapi hal ini tidak sepenuhnya benar.
Kadar kalsium dalam darah manusia
biasanya terpatok pada 9-10 mg. Namun, saat minum susu, konsentrasi
kalsium dalam darah Anda tiba-tiba meningkat. Walaupun sepintas lalu hal
ini mungkin terlihat seperti banyak kalsium telah terserap, peningkatan
jumlah kalsium dalam darah ini memiliki sisi buruk. Ketika konsentrasi
kalsium dalam darah tiba-tiba meningkat, tubuh berusaha untuk
mengembalikan keadaan abnormal ini menjadi normal kembali dengan
membuang kalsium dari ginjal melalui urin. Dengan kata lain, jika Anda
mencoba untuk minum susu dengan harapan mendapatkan kalsium, hasilnya
sungguh ironis, yaitu menurunnya jumlah kalsium dalam tubuh Anda secara
keseluruhan. Dari empat negara susu besar—Amerika, Swedia, Denmark, dan
Finlandia—di negara yang banyak sekali mengonsumsi susu setiap harinya,
ditemukan banyak kasus retak tulang panggul dan osteoporosis.
Sebaliknya, ikan-ikan kecil dan rumput
laut, yang selama berabad-abad dimakan oleh bangsa Jepang dan pada
awalnya dianggap rendah kalsium, mengandung kalsium yang tidak terlalu
cepat diserap yang meningkatkan jumlah konsentrasi kalsium dalam darah.
Terlebih lagi, hampir tidak ada kasus osteoporosis di Jepang selama masa
rakyat Jepang tidak minum susu.
Setelah minyak, jenis makanan yang paling
mudah teroksidasi adalab susu yang dibeli di toko. Sebelum diproses,
susu mengandung banyak unsur yang baik. Contohnya, susu mengandung
banyak jenis enzim, misalnya enzim yang menguraikan laktosa; lipase,
yang menguraikan lemak; dan protease, enzim yang menguraikan protein.
Susu dalam wujudnya yang alami juga mengandung laktoferin, yang dikenal
memiliki efek antioksidan, anti-peradangan, antivirus, dan pengatur
imunitas tubuh.
Namun, susu yang dijual di toko-toko
telah kehilangan seluruh sifat baik ini melalui proses pengolahannya.
Proses pengolahan susu secara modern adalah sebagai berikut.
Pertama-tama, mesin pengisap dihubungkan dengan puting susu sapi untuk
memerah susu, yang kemudian disimpan sementara dalam sebuah tangki. Susu
segar yang dikumpulkan dari setiap peternakan kemudian dipindahkan ke
tangki yang lebib besar lagi, tempat susu itu kemudian diaduk dan
dihomogenisasi. Yang sebenarnya terhomogenisasi adalah butiran-butiran
lemak yang ditemukan dalam susu segar.
Susu segar terdiri dari sekitar 4% lemak,
tetapi sebagian besar lemak tersebut terdiri dari partikel-partikel
lemak yang berbentuk. butiran-butiran kecil. Semakin besar partikel
lemak, semakin mudah mereka terapung. Jika susu segar dibiarkan, lemak
akan menjadi sebuah lapisan krim di permukaan.
Sebuah mesin yang disebut mesin
homogenisasi digunakan, dan secara mekanis partikel-partikel lemak pun
dipecah menjadi lebih kecil. Hasil akhirnya adalah susu homogen. Namun,
pada saat homogenisasi berlangsung, lemak susu yang terdapat dalam susu
segar berikatan dengan oksigen sehingga mengubahnya menjadi lemak
terhidrogenisasi (lemak teroksidasi).
Lemak terhidrogenisasi berarti lemak yang
telah terlalu banyak teroksidasi, atau dapat dikatakan telah
“berkarat”. Seperti halnya semua lemak terhidrogenisasi, lemak dalam
susu homogen buruk bagi tubuh.
Pasteurisasi Merusak Enzim Pada Susu
Namun, proses pengolahan susu belum
selesai sampai di situ. Sebelum dipasarkan, susu homogen harus
dipasteurisasi dengan panas untuk menekan berkembang biaknya berbagai
kuman dan bakteri.
Ada 4 cara dasar pasteurisasi bagi susu, yaitu:
- Pasteurisasi suhu rendah berkelanjutan (LTLT = low temperature long fr’me/suhu rendah waktu lama). Pasteurisasi dengan memanaskan hingga 62,2°-65°C selama 30 menit. Cara ini biasanya disebut metode pasteurisasi suhu rendah.
- Pasteurisasi suhu tinggi berkelanjutan (HTLT = high temperature long t/me/suhu tinggi waktu lama). Pasteurisasi dengan memanaskan hingga lebih dari 75°C selama lebih dari 15 menit.
- Metode suhu tinggi waktu singkat (HTST = high temperature short time]. Pasteurisasi pada suhu lebih dari 72°C selama lebih dari 15 detik. Cara ini adalah metode pasteurisasi yang paling banyak digunakan di seluruh dunia.
- Pasteurisasi suhu sangat tinggi waktu singkat (UHT = ultra high temperature). Pasteurisasi dengan memanaskan hingga 120°-130°C selama 2 detik (atau hingga 1 50°C selama 1 detik).
Metode yang paling banyak digunakan di
dunia adalah proses pasteurisasi suhu tinggi waktu singkat dan suhu
sangat tinggi waktu singkat. Enzim sensitif terhadap panas dan mulai
terurai pada suhu 48°C. Pada suhu 115°C, enzim sudah hancur seluruhnya.
Oleh karena itu, terlepas dari lama waktu yang digunakan dalam
pemrosesan, pada saat suhu mencapai 130°C, enzim telah hampir seluruhnya
rusak.
Terlebih lagi, jumlah lemak yang
teroksidasi meningkat lebih banyak lagi pada suhu sangat tinggi dan suhu
tinggi mengubah kualitas protein yang terdapat dalam susu. Sama halnya
seperti kuning telur yang lama direbus mudah pecah, perubahan yang
serupa pun terjadi pada protein susu. Laktoferin, yang sensitif terhadap
panas, juga rusak.
Oleh karena telah dihomogenisasi dan
dipasteurisasi, susu yang dijual di supermaket-supermaket di seluruh
dunia tidak baik bagi Anda.
Susu Sapi pada Dasarnya Memang untuk Anak Sapi
Dr. Shinya berpendapat bahwa nutrisi yang
terdapat dalam susu cocok untuk anak sapi yang tengah berkembang. Yang
penting bagi pertumbuhan anak sapi belum tentu berguna bagi rnanusia.
Terlebih lagi, dalam dunia alami, hewan yang minum susu hanyalah bayi
yang baru lahir. Tidak ada mamalia yang minum susu setelah dewasa
(kecuali Homo sapiens). Inilah cara kerja alam. Hanya manusia yang
dengan sengaja mengambil susu dari spesies lain, mengoksidasi, dan
meminumnya. Ini bertentangan dengan hukum alam.
Di Jepang dan Amerika Serikat, anak-anak
didorong untuk minum susu saat makan siang di sekolah karena susu yang
kaya nutrisi dianggap baik untuk anak-anak yang tengah tumbuh. Namun,
siapa pun yang menganggap bahwa susu sapi dan air susu ibu manusia
adalah sama, tentunya sangat salah.
Jika Anda mendata berbagai nutrisi yang
ditemukan baik dalam susu sapi maupun dalam AS1, keduanya memang sangat
serupa. Nutrisi seperti protein, lemak, laktosa, zat besi, kalsium,
fosfor, natrium, kalium, dan vitamin, ditemukan dalam keduanya. Namun,
kualitas dan jumlah nutrisi ini sangat berbeda.
Komponen protein utama yang ditemukan
dalam susu sapi disebut kasein. Kasein adalah protein yang sangat sulit
dicerna dalam sistem pencernaan manusia. Sebagai tambahan, susu sapi
juga mengandung bahan antioksidan laktoferin, yang memperkuat fungsi
sistem kekebalan tubuh. Namun, laktoferin yang terdapat dalam ASI adalah
0,15% sementara yang terdapat dalam susu sapi hanya 0,01%.
Tampaknya, bayi-bayi yang baru lahir dari spesies yang berbeda membutuhkan jumlah dan rasio nutrisi yang berbeda pula.
Dan bagaimana dengan orang dewasa?
Laktoferin menjadi contohnya. Laktoferin
dalam susu sapi terurai dalam asam lambung, maka bahkan jika Anda
meminum susu segar yang belum diproses menggunakan suhu tinggi,
laktoferin di dalamnya akan terurai dalam lambung. Begitu pula halnya
dengan laktoferin yang terdapat dalam ASI. Seorang bayi manusia yang
baru lahir dapat menyerap laktoferin dari ASI dengan baik karena
lambungnya masih belum berkembang sempurna, dan karena sekresi asam
lambungnya hanya sedikit, laktoferin pun tidak terurai. Dengan kata
lain, ASI manusia memang tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi oleh manusia
dewasa.
Susu sapi, walaupun sebagai susu segar
yang masih mentah, bukanlah makanan yang cocok bagi manusia. Kita
mengubah susu segar, yang pada dasarnya memang tidak baik bagi kita,
menjadi makanan buruk dengan cara homogenisasi dan pasteurisasi pada
suhu tinggi. Kemudian, kita memaksa anak-anak kita untuk meminumnya.
Satu masalah lain adalah orang-orang dari
kebanyakan kelompok etnis tidak memiliki cukup banyak enzim laktase
untuk menguraikan laktosa. Kebanyakan orang memiliki cukup banyak enzim
ini pada saat masih bayi, tetapi kemudian berkurang seiring dengan usia.
Pada saat orang-orang ini minum susu,
mereka mengalami berbagai gejala seperti perut bergemuruh atau diare,
yang merupakan hasil ketidakmampuan tubuh mereka mencerna laktosa.
Orang-orang yang benar-benar tidak memiliki laktase atau jumlali
enzimnya benar-benar rendah disebut tidak tahan laktosa. Hanya sedikit
orang yang benar-benar tidak tahan laktosa, tetapi sekitar 90% dari
bangsa Asia; 75°/o dari bangsa Hispanik, Indian Amerika, dan kulit hitam
Amerika, begitu pula 60% orang dari berbagai kebudayaan di Mediterania
dan 15% masyarakat keturunan Eropa Utara tidak memiliki cukup banyak
enzim ini.
Laktosa adalah zat gula yang hanya
terdapat dalam susu mamalia. Susu hanya untuk diminum oleh bayi-bayi
yang baru lahir. Walaupun banyak orang dewasa yang kekurangan laktase,
pada saat baru dilahirkan, semua bayi yang sehat memiliki cukup banyak
enzim tersebut untuk kebutuhan mereka. Terlebih lagi, kadar laktosa
dalam ASI adalah sekitar 7%, sementara dalam susu sapi hanya 4,5%.
Oleh karena manusia pada saat bayi mampu
minum ASI yang kaya akan laktosa tetapi berakhir dengan menghilangnya
enzim tersebut setelah dewasa, Dr. Shinya yakin inilah cara alam untuk
mengatakan bahwa susu bukan untuk diminum oleh orang dewasa.
Jika memang sangat menyukai rasa susu,
sangat disarankan Anda membatasi seringnya mengonsumsi susu, berusaha
untuk minum susu yang tidak dihomogenisasi, dan dipasteurisasi pada suhu
rendah. Anak-anak dan orang dewasa yang tidak menyukai susu tidak boleh
dipaksa untuk meminumnya.
Singkatnya, minum susu tidak bermanfaat baik bagi tubuh.
Sumber: Buku “The Miracle of Enzyme” halaman 97 – 102 dan 127 – 133, oleh Dr. Hiromi Shinya, MD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar